8 Oktober 2014

Berdiri di Atas Rasa

Berdiri di Atas Rasa
Kalaulah bukan karena “alam rasa” yang bisa dimasuki manusia di saat-saat tertentu maka akan terasa sempitlah kehidupan ini, akan terasa pahit semua ujian dan penderitaan, orang hidup tidak akan bahagia dengan nikmat nyawa dan orang mati tidak pernah menyesali datangnya ajal.
Demikianlah kita melihat orang berbondong-bondong masuk ke dalam alam rasa dari pintu mana saja yang dia bisa, karena disini dia bisa melihat apa yang tidak mungkin dilihatnya di alam kasat mata , sesuatu yang meringankan dada dan menentramkan jiwanya, sesuatu yang menghilangkan kebosanan dan kelelahan terhadap adengan kehidupan yang beragam, tipe pemandangan yang bermacam-macam, keharmonisan yang aneh dan perbedaan yang mengherankan.
Kalaulah bukan karena keinginan untuk memasuki dimensi “alam rasa” maka tidak akan sebanyak ini orang yang tergila-gila membius atau melemahkan alam sadarnya, seperti yang dilakukan oleh para peminum, para perokok atau para penghisap candu, juga maniak film layar biru (adult only), onani.
Dalam pandangan mereka, walaupun apa yang dilakukan ini adalah kebahagiaan yang pasti akan diiringi oleh penderitaan tetapi itu jauh lebih baik daripada penderitaan yang tidak akan diiringi oleh kebahagiaan, kehidupan orang yang bahagia bercampur derita lebih baik dari pada kehidupan orang yang menderita dan tidak pernah bahagia.
Kalaulah bukan karena adanya “alam rasa” maka tidak akan sebanyak ini orang yang menjadi sastrawan yang larut dalam dunia khayal, tidak akan sebanyak ini sufi sufi yang tenggelam dalam lautan cinta (mahabbah).
Peminum tidak sedikitpun merasakan nikmatnya hidup sampai dia menyerahkan jiwanya ke dalam cangkir-cangkir minuman, saat itu dia akan berpindah dari alam sederhana dan terbatas masuk ke dalam alam lain yang luar biasa, dia melihat semua yang selama ini tersimpan rapat didalam kepalanya, dia melihat semua khayalannya menjadi nyata, sekalipun yang dilihat adalah orang paling jelek, orang yang seperti alat pemanggang daging maka dalam pandangannya nampak sebagai makhluk yang menarik dan menggoda, hati tergantung dengannya seperti burung-burung yang selalu ingin bergantung di ranting pohon.
Dan kalau dia orang rendahan yang tidak punya sedikitpun uang maka dia merasakan bahwa dia sedang duduk di atas singgasana raja, tongkat kekuasaan ada di tangan kanannya dan mahkota emas terpasang indah di kepalanya dan hamba-hamba Allah yang lalu lalang itu adalah hamba dan budak-budaknya, angkatan bersejata negara adalah bodyguard- bodyguardnya, termasuk polisi-polisi yang menangkapnya itu.
Intinya dia tidak melihat sedikitpun dari hal-hal yang bisa dilihatnya sebagai sesuatu hal yang membuatnya sedih, telinganya tidak mendengar hal-hal yang jelek, dia melihat kecantikan yang luar biasa menggoda walaupun itu wanita tua, dia mendengarkan alunan melodi indah dari hardikan-hardikan keras dan carut-marut polisi yang menangkapnya.
Ahli sufi tidak merasakan nikmatnya hidup di alam fana ini kecuali setelah gelap malam datang dan dia bersimpuh di tempat munajat : bertasbih, berzikir, memuja, bertahaju, hanyut dalam keindahan ilahi.
Dia masuk ke alam rasa, alam yang luar biasa. Seolah dia memiliki sayap-sayap dari cahaya seperti sayapnya para malaikat . Dia terbang naik menembus alam luar angkasa dan naik lagi ke atas, dia melihat ada sorga dan neraka di sana, ada arasy, ada kursi, dia mendengar gesekan-gesekan pena (qalam) yang menuliskan semua kejadian di lauh mahfudz, dia membaca apa yang tertulis di sana, yang terjadi di masa lampau, masa sekarang dan sebagian yang akan terjadi di masa depan.
Dan sastrawan tidak mampu mengobati rasa luka kesedihannya terhadap sejarah pahit yang selalu berulang dalam peradaban kemanusiaan. Kelaliman para penguasa, pembodohan terhadap masyarakat, penindasan terhadap kaum lemah, pembantaian orang-orang tak berdosa. Dia tidak bisa mengobati rasa lukanya sampai dia kembali duduk di kursi usangnya sambil memegang pena.
Kemudian dia terbang bersama khayalnya, berada di antara taman penuh pohon dan disertai cahaya yang masuk dari sela ranting-ranting pohon kemudian dia masuk ke dalam kolam kecil yang ramai dipenuhi oleh ikan ikan kecil, bercanda ria dengan makhluk tuhan yang tak pernah melakukan dosa dan melakukan kelaliman.
Sesekali dia berdiri menatap puing-puing reruntuhan , menangisi keluarga, para tetangga transmigran yang datang dari jauh, tempat tinggal yang telah terpisah-pisah, kadang dia berdiri atas di kuburan sambil bersimpati, apa yang membuat tubuh mereka lapuk dan tulang mereka keropos?.
Tidaklah harapan itu kecuali juga sebuah pintu untuk memasuki alam rasa, tidak mungkin di antara hati-hati manusia ada hati yang tidak berdenyut dengan harapan Karena harapan itu sendiri adalah kehidupan , dia adalah jatah sama rata yang diberikan kepada semua, diberikan untuk yang pintar dan diberikan untuk yang kaya, diberikan kepada yang miskin dan diberikan kepada yang bodoh.
Harapan adalah tembok penghalang yang berdiri jalan ke putus-asaan, menghalangi dengan kuat hingga ke putus-asaan tidak merembes ke dalam hati, seandainya dia merembes lolos masuk ke dalam hati maka manusia akan zuhud dengan kehidupan dunia, dia tidak akan peduli dengan kehidupan yang layak karena semua tidak ada nilainya sama sekali dalam pandangan mereka, tidak memberi kebahagian ke dalam hati mereka.

0 komentar:

Posting Komentar