3 April 2012

Resah



Resah itu sudah tak berspasi,
lalu mengeja kata-kata menjadi sebuah makna,
menggerus kata dalam dada dan hawa,
menjadikan sebuah nada yang menggugah aliterasi,
resah tak harus bermandikan cucuran kepiluan,
tapi tikam dada,
dan kumpulkan dalam kata-kata yang menjadi do’a,
do’a dalam lamunan,
atau do’a untuk penghapusan,
resah tak harus mematikan aliran kesadaran,
tapi resah harus terus menyalakan sebuah carut marut untuk sebuah penghayatan.
Resah harus bermakna halus,

            Puisi Resah tentunya bukan hanya perkara para makhluk galau yang Cuma bisa ngurusin cari pacar dan bagaimana agar bisa terlihat keren. Dari Resah tersebut sudah sangat jelas dalam bait pertama bahwa resah tak berspasi , bagian dari diri, karena sudah tidak ada jarak, setelah resah menjadi diri, kemudian dia memaknai dirinya, selanjutnya menjadi indah karena menggugah aliterasi.
Bait selanjutnya resah adalah tikam dada yang menjadi doa, baik dalam lamunan atau dalam penghapusan. Di sini resah bermetamorfosis menjadi segumpal doa yang seksi. Selanjutnya pada bait ketiga resah adalah kesadaran untuk menghayati hidup, “resah harus terus menyalakan sebuah carut marut untuk sebuah penghayatan”. Dan pada bait terakhir resah dimaknai dengan sesuatu yang halus.
Tentunya  galau berbeda dengan resah dalam puisi ini. Jika puisi ini berbicara resah, ini bukan perkara resah tidak punya pacar, atau belum bayar hutang. Resah adalah sebuah upaya bagaiamana manusia bisa menghadapi kehidupan tanpa harus terjebak dalam ruang-waktu yang tidak memberi makna. Di sini pembaca diarahkan untuk penyadaran bahwa keresahan harus bermakna  , baik dalam ekspresi syair yang indah, doa yang khusuk, atau kehalusan hidup.
Dalam kebudayaan modern manusia selalu diarahkan pada sebuah dunia di mana ia merasa bermakna jika menjadi sesuatu—bagian kecil—dalam kehidupan. Manusia diarahkan pada medan ruang-waktu yang menyeret ia untuk terlupa akan ke-ada-annya. Manusia larut dalam keseharian yang banal, menjadi makhluk kerumun, tidak ubahnya seperti sekawanan mayat hidup. Modernitas sudah menakar segala hal secara rasional, sehingga semuanya dapat diprediksi dan diantisipasi secara persis. Apakah manusia bisa diantisipasi menjadi sebuah objek? Kondisi modernitas sudah mengasingkan manusia dari kesehariannya.
Di tengah kebanalan itu, manusia suatu waktu pasti pernah menanyakan siapa dirinya. Ada secercah resah. Resah semacam ini adalah bentuk kecemasan, angst dalam istilah Heidegger. Pada momen ini, menurut Heidegger, kecemasan yang menyembul ke luar dari keseharian itulah yang menjadi alat untuk membuka selubung yang memalsukan sang aku yang dikoyak. Kecemasan menelanjangi manusia sebagai ada yang terlempar, untuk menyingkapi dasar-dasar kenyataan dan kehidupan sehari-hari kita. 


. Keresahan adalah jalan untuk menemukan makna akan kehidupan. Manusia harus bisa keluar dari keseharian yang banal, dan satu-satunya cara dari itu adalah dengan mencandrai kehidupan.
Dari mana aku, ke mana aku, mengapa aku ada? Pertanyaan itu membuat cemas setiap manusia. Agama telah menjawabnya, namun apakan itu sudah cukup? Sains telah memberikan jawaban akan itu, namun apakah itu menenangkan? Lagi-lagi ini perkara keresahan manusia secara eksistensial. Ia butuh satu jawaban yang bisa menyalurkan keresahannya, dan prosesi menjawab itu adalah dengan menghayati kehidupan dengan segala suasana—baik sedih, kecewa, senang, bahagia—gerak hatinya.
sumber