12 Mei 2015

Masa lalu dan Perjalanan ke Mesir bag 2


Sekaranglah saatnya...lansung praktek aja pasti seru..minimal pasti ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil... mungkin

Dan sayapun mulai melirik sekeliling, mencari siapa kira2 yg seharus nya saya sukai, (aneh y..saya baru sadar sekarang klo perasaan itu tdk bisa dihitung dg kalkulator, dia bukan ilmu pasti, suka adalah ilmu aneh yg ga punya kurikulum, dia hy bisa dipahami oleh orang2 yg sdg tenggelam didalamnya).

Tapi  yg jelas beberapa minggu kemudian saya membuat keputusan dan mengiriminya surat kaleng…, apakah saya diterima? tentu saja tidak, saya langsung ditolak bahkan sempat menjadi bahan gunjingan dalam kelas. (kenapa saya gagal dan apakah saya berhasil menemukan jawaban thd pertanyaan2 saya…kapan2 aja saya tulis)

Singkat cerita dua kegagalan eksperimen ini membuat saya mulai ragu dg buku2 psikologi, motivasi, manajemen dan buku2 lain yg saya baca, apakah semua yg mereka tulis itu benar atau hanya sekian persen saja yang bisa dipegang ataukah saya gagal karena perbedaan keadaan sosio kultural tempat saya hidup dg tempat penulis mengambil sampel2 percobaannya, mereka hidup di Barat sedangkan saya tinggal di Timur (Asia), ya bedalah adat dan kebiasaan kami. Teori2 mereka tumpul, tak bisa diterapkan di daerah saya..ya itulah kesimpulan sementara saya.
Saya berani masuk MLM dan juga menembak si dia adlah karena aliran semangat dan gairah yg muncul dari ide2 mereka, sipenulis kelas dunia itu. Saya gagal, saya rasa  harapan yg diberikan sipenulis2 itu seperti uap, tidak bisa sepenuhnya diterima mentah2. buktinya saya gagal.

Namun saya tidak sepenuhnya menyerah karena saya masih mempunyai target selanjutnya yang perlu saya coba, tidak ada salahnya mencoba kan? Tidak ada manfaatnya menangisi susu yg tumpah ke lantai, bersihkan saja dan lakukan tugas2 lain yg sudah menunggu.

Target saya selanjutnya adalah bisa kuliyah keluar negri, aneh...waktu itu saya seperti sahabat yg membakar hapis kapalnya, di depan adalah musuh dan di belakang adalah laut lepas, kalau maju ada 2 kemungkinan bisa menang dan memperoleh apa yg kita inginkan atau kalah namun dikenang sebagai pahlawan, kalau mundur maka mati konyol karena kapal sudah dibakar.

waktu itu saya hy punya satu pikiran saya harus ke luar negri, saya tidak akan kuliyah dimana2 selain di luar negri...harus. kalau tahun ini tidak bisa maka tahun depan harus bisa kalau ga tahun depannya lagi.

setelah berharap setengah mati akhirnya pun saya lulus, saya selamat gara2 8 point, waktu itu syarat kelulusan non depag adalah 60 dan untuk jalur depag (beasiswa) harus memiliki rata2 80.

nilai rata2 saya waktu itu adalah 60.8 . yach saya rasa saya lulus gara2 doa dari orang2 tercinta padahal kemampuan tidak terlalu baik. tapi yang jelas saya lulus sedangkan ilmu bisa di usahakan, yang penting lulus dulu.

Saya tidak punya kelebihan materi, anda tahu lah apa yang saya lakukan sehari2. Saya tidak mungkin dalam tiga bulan bisa mengumpulkan uang puluhan juta untuk biaya kuliyah di luar negri. Namun demikian saya mencoba untuk tetap percaya bahwa itu pasti bisa “pasti ada cara.” Ya klo nantinya gagal lagi ya minimal saya tidak menyesal tidak ke luar negri, saya sudah mencoba dan saya gagal. Itulah takdir saya. selesai masalah, titik.

Ya lebih kurang seperti itulah pesan2 yg sering disampaikan bapak2 motivasi dalam kuliah2 mereka.

Perjuangan keluar negri lebih terkendala kepada mencari dana dan “catatan lusuh” saya telah  mengabadikan kisah pengemis saya dlm cari dana. Semua ada saya simpan dengan rapi, mulai dari angka-angka yang masuk dan keluar, tanggal, org yg pertama kali mengasih semangat, org yg pertama kali mengasih dana, saya dapat 300.000 rupiah, ini utk modal awal katanya. Semoga berhasil.

Saya juga mencatat pesan-pesan mereka, harapan2 mereka.
Waktu itu saya meng-kopi sekitar 50 proposal dana, sebagian saya sebar di mesjid2 pas waktu jum’atan, sebagian di sidang hari raya, kedai2 anderdil motor, kedai pupuk, kantor badan amil zakat (BAZ) , bank bpr, kantor wali nagari, kantor camat, kantor bupati, kantor diknas, tempat praktek dokter kandungan, mendatangi orang2 kaya dengan wajah memelas tapi hati memaksa seolah mengatakan “bahwa kami adalah fi sabilillah", padahal kenal juga ga’ dg mereka.


Sungguh aneh karena waktu itu tak ada rasa segan sikitpun untuk minta2 sumbangan. Kadang disuruh menjalankan katidiang (keranjang sumbangan), kadang sebelum dikasih sumbangan diminta untuk menjadi khatib jum’at dulu di sana, kadang juga ditolak dengan berbagai alasan logis dan tak logis, yang saya rasakan waktu itu hanya manis manis asam kayak lagi makan jeruk sambil kening berkerut. Eisspp..ha gimana gitu.

bersambung...

23 April 2015

Sekelumit Masa Lalu dan Perjalanan ke Mesir



Catatan masa silam dulu, tentang sebuah semangat mengotak-atik potongan2 asa, setiap hari hanya satu harapan: semoga setiap potongan2 kecil itu bisa jatuh ditempat yang pas agar di hari H nanti menjelma menjadi sebuah gambar besar yang selaras, minimal bisa dibaca. Memori ini muncul tanpa diundang, saat itu saya beres2 mau pindah kos, saya ketemu buku catatan usang saya, seketika saya masuk ditarik ke masa silam.

Perjuangan 6 tahun yang lalu, juni 2008. Ini adalah awal dari gelembung2 semangat yang bikin saya linglung panas dingin, rasanya saya ingin berteriak “pak..buk.. saya lulus tes kuliyah ke luar negri?! Aha jenius ?!”. Dengan sengatan berita kelulusan itu rasanya saya mulai hidup dalam khayal yg melalang buana, selama berhari-hari bernafas tanpa tahu harus melakukan apa. 

Yach… ini merupakan sebagian dari kelemahan saya, ketika menginginkan sesuatu maka semua pikiran saya, hati saya, alam sadar dan tidak sadar saya langsung tercurahkan pada satu hal itu saja, saya tidak akan bisa memikirkan hal lain, youhh kebebasan saya rasanya betul2 terampas. 

Kadang saya merasa sudah tidak lagi di dunia ini karena separuh jiwa ini sudah bertengger, berjalan melenggang dengan indahnya di alam khayal. 

Dimanapun saya berada, khayalan ttg kuliyah di luar negri selalu hadir, menggoncang2 jiwa, baik itu ketika membantu ibuk di dapur, ketika menjemput air untuk kebutuhan dapur dari lubuk (mata air) yang cukup jauh, belanja ke warung yg juga lumayan jauh, ketika makan, ketika bantu2 orang tua di sawah, ketika sendirian di kamar bahkan kadang2 ketika lagi sholat. Hgzztt.

Setahun sebelumnya (yaitu tahun 2007) ketika saya mulai masuk tahun akhir di sekolah saya, saya mulai merasa kosong: kosong waktu, kosong permasalahan.

Saya merasa memiliki banyak sekali waktu kosong, tinggal di mesjid yg dekat dari gedung sekolah, dapat tunjangan yg mencukupi kebutuhan sebulan. 

Dengan dua modal ini waktu kosong saya menjadi bertambah, pertama karena saya tidak butuh menghabiskan waktu lama untuk bisa sampai ke sekolah, kedua saya merasa tidak usah menghabiskan waktu membantu orang tua di sawah karena saya sudah punya uang sendiri yang mencukupi kebutuhan saya. 

Banyak waktu luang dan sekolah juga tidak memberi tugas yg menyita waktu membuat ruang hampa semakin menganga. Ya spt itulah kekosongan pertama, kayaknya sudah ada gambaran umumnya. Sekarang lanjut tentang permasalahan selanjutnya!

Kekosangan permasalah. Semenjak dulu sirkulasi rutinitas saya adalah sirkulasi aman, siklus minim masalah. 

Pertama keluarga. Keluarga rasanya cukup harmonis, saya tidak pernah melihat orang tua bertengkar, ibuk bapak taat beragama, rajin sholat, puasa, baca quran, nyaman kali rasanya kalau dirumah, saya tidak ingin kemana2.

Kedua rutinitas saya. biasanya pagi siang saya disekolah, sorenya membantu orang tua, malam belajar kemudian tidur dan paginya sekolah lagi. 

Hari minggu saya membantu ibuk belanja ke pasar (bl panjang) atau menjaga padi yang dijemur di halaman supaya tidak dimakan oleh ayam2 tetangga dan kadang membantu orang tua di sawah atau hanya sekedar menjaga padi yg mulai menguning di sawah supaya tidak dimakan oleh burung gereja atau pipit.

Rutinitas seperti ini saya sebut sbg siklus anti masalah atau rutinitas aman karena dia saya membuat saya terpelihara dari permasalahn kenakalan remaja, huru hara yg gak jelas. 

Saya tidak perlu merasa stress karena tidak ada yg perlu dikhawatirkan, di sini kita lebih membutuhkan otot ketimbang otak hanya butuh badan yg sehat dan stamina yg ok saja, apa yg dikerjakan orang tua tinggal ditiru saja, gampang lah pokoknya.

Banyak kesibukan dirumah atau sawah membuat saya tidak punya waktu main2 dg anak2 baru puber yang tinggalnya lebih dekat dengan jalan besar beraspal, main bola kaki, main kartu, domino atau sekedar duduk2 di warung sambil mendengarkan cerita huru hara mereka, cerita ttg hantu, ttg pacaran, saya akui mereka jago bercerita dan selalu punya kisah menarik untuk diumbar namun keluarga saya melarang duduk2 di warung, ah janganlah ikut2 pula dg preman.

Wow anda shaleh sekali, berpikiran bijak semenjak kecil bla bla bla…, 

Jangan mengambil kesimpulan terlalu dini sodara! Walaupun saya bebas masalah atau kosong masalah namun waktu itu saya merasa terkucil dari lingkaran kehidupan yg seharusnya. Semakin saya beranjak remaja semakin banyak gejolak perasaan yang saya timbun dalam dada, semakin sering pula saya melakukan monolog, bertanya2 ttg semua detail yg terjadi dalam kehidupan saya, saya mulai bertanya dg pertanyaan “mengapa saya…” kemudian menjawab dengan kata “karena…” namun secara umum saya hanya bisa melontarkan pertanyaan “mengapa saya…” tanpa bisa berkata “karena…” yaa otak tidak terlalu cerdas utk menjawab semua pertanyaan2 itu. 

Sungguh pada waktu itu saya sangat butuh kehadiran pembimbing yg bisa memuaskan semua pertanyaan2 saya atau seorang teman super jenius yang tidak pernah bilang “kamu ini aneh” terhadap semua kebingungan saya.

Harapan tinggal harapan dan saya tetap harus menjawab semua pertanyaan seorang diri saja, kadang saya bertanya mengapa nama saya dalam akte novi dan kenapa dirumah dipanggil andi, mengapa kalau saya ikut bicara ketika orang lain bicara mereka bilang “husss anak kecil jangan ikut campur urusan orang dewasa” saya heran mengapa saya dilarang bicara tanpa dijelaskan dimana letak kesalahan ucapan saya, padahal saya yakin apa yg saya ucapkan sangat benar sekali dan masuk akal, saya dilarang berpendapat semata2 karena saya masih kecil.

Sungguh dunia ini tidak adiiiil, saya ingin sekali berlari ke masa depan supaya cepat dewasa dan bisa didengarkan ucapannya. (inilah salah satu tragedy menjadi anak paling bungsu, tidak ada yg menghormati perkataannya, selalu dianggap ingusan. Hufhf sebal :( )

Saya heran mengapa ada orang miskin dan ada orang kaya, mengapa sebagian orang suka berbohong bahkan disaat2 yg sebenarnya mereka bisa jujur, saya juga sering bertanya” apasih kriteria seseorang bisa disebut manis atau ganteng bukankah semua orang itu sama saja selama mereka anggota tubuh mereka lengkap dan tidak cacat, bahkan saya tidak bisa menyebutkan dimana letak manis dan gantengnya para artis, saya lihat mereka sama saja dg orang-orang yang saya temui sehari.

Di lain waktu kadang saya juga terpikir bagaimana manusia bisa terlahir ke dunia dan pernah debat dg kawan saya ttg masalah ini sewaktu kelas 5 SD, setelah saya masuk Tsanawiyah dan belajar biologi baru saya sadar klo pendapat teman saya itu benar dan pendapat saya salah. (terima kasih guru biologi tercinta alm bu Sumiarti yg telah memberi saya byk pengetahuan baru, semoga Allah melapangkan kuburanmu. Amin) dan banyak lagi pertanyaan yg menyesak.

Tidak ada jawaban untuk kebanyakan dari pertanyaan saya dan tidak ada yang mau menghabiskan waktunya dengan sia2 untuk menjelaskannya. Semua sibuk bekerja banting tulang dan pertanyaan saja dianggap tidak berbobot. 

Satu-satunya yg membuat saya tidak berontak dg penerimaan yg seperti itu adalah karena saya bisa masuk dg bebas ke dalam alam khayal, alam super luas tanpa batas. Saya sering melarikan pertanyaan2 kealam khayal…menghayal dalam sepi. Saya menemui keindahan dalam kesunyian.

Dengan berbasiskan dua keadaan di atas maka saya bisa hidup dengan aman tentram dan tetap sunyi. Hukum kausalitas memang benar “ kesunyian hanya membawa kepada kesunyian dan kekosongan pasti bermuara juga kepada kekosongan. Ketika awal menginjak kelas 6 diniyah (2007) saya merasa seperti nol besar, kosong hampa. Saya harus melakukan sesuatu…jreng jreng jreng otak saya mulai berputar.

Saya mulai sering datang ke pustaka bg hatta, meminjam buku secara berkala. Yo i mengapa saya tidak bertanya kepada orang2 besar kaliber internasional, otak saya terlalu kecil untuk bisa diandalkan. 

Saya mulai menggaris target untuk saya simpan dibalik setiap buku yg saya pinjam. Tahun ini saya ingin melakukan sesuatu yg berbeda.  

Walhasil setelah beberapa bulan langganan dengan pustaka saya menggebu ingin mencoba untuk membuktikan kebenaran ide-ide yg ditulis oleh para penulis  dunia, saya memutuskan untuk membuktikan ilmu2 itu dg bergabung dg MLM (multilevel marketing) itu perubahan yang pertama, untuk sukses kita harus keluar dari zona nyaman, membuat tantangan2 yg sulit, berani ditolak, berani gagal, pokoknya banyak sekali sisi2 positif yg bisa ditemukan dalam MLM.

Di lain waktu mulai ada keinginan untuk tahu ttg bagaimana rasanya jatuh cinta, buku2 yang saya baca mengatakan bahwa ketertarikan kepada lawan jenis adalah satu diantara tanda2 mulai remaja, dan cinta itu seperti magnet, dia akan saling tarik menarik klo seandainya bertemu dg frekuensi yg pas, ayo ungkapkan perasaanmu, orang yg kamu sukai sebenarnya sedang nunggu kamu yang aktif duluan, yang ngungkapin perasaan, perempuan sifatnya pasif, dia lebih suka menunggu, kemudian penulis menuliskan testimoni kisah-kisah yg menguatkan statementnya itu, Waktu itu saya sangat percaya sekali, sanggggggat percaya dg buku motivasi yg saya baca, dan cap “best seller” adalah jaminan mutu menurut saya. Yes! Saya dapat ilmu baru lagi.

Jatuh cinta adalah hal terbesar dari tanda2 remaja yg  menurut saya sangat penting. Karena semenjak SD sampai akhirnya saya kenal dengan pustaka saya memang asik memikirkan asal muasal jatuh cinta, belum terpikir ttg cinta itu sendiri sih karena waktu itu umur saya masih kecil. Hy mukaddimah saja.

Pertanyaan yang sdh ada smnjak SD sampai saya mulai rajin ke pustaka  “apa kriteria cantik atau ganteng ataukah semua itu relative saja tidak ada orang yg benar2 cantik atau ganteng” kalau seandainya bisa dinilai maka saya berada dalam posisi apa, ganteng atau sedang atau kurang dan bagaimana dengan teman2 dilokal apakah mereka bisa juga dikelompok2an kepada cantik, biasa dan kurang. 

eksperimen dimulai lagi dan saya mulai melirik sekeliling siapa yg seharus nya saya sukai dan apa alasan...bersambung.

12 Februari 2015

kandang babi


SEEKOR babi mengendusku lagi. Langit-langit yang menyangga dunia beranjak menuju gelap. Anakku datang menyusul, menunggu di luar kandang bersama istriku.
"Babi itu punya bapak semua, ya?"
Aku melepaskan endusan babi itu dan menyuruhnya bergabung dengan teman-temannya. Hari ini aku terpaksa melepas seekor babi yang gemuk dan paling sakit di antara kawanannya. Aku tak ingin ada seekor lagi yang sakit dan bermanja denganku di hadapan putriku yang masih kecil dan membuatnya iri terhadap seekor babi. Aku ingin babi-babi itu beranak-pinak di kandangku. Dan untuk itu aku harus mampu menahan diri.
"Bukan punya bapak, kata istriku."
"Cuma pinjem ya, Pak?"
"Iya, cuma {pinjem]."
***

Setelah mendaki banyak tangga yang terbuat dari tanah dan tiba di gedung sekolah, kepalaku berkelit dan perutku bergolak. Di hadapanku anak-anak kelas empat bergembira dengan besar badan dan keberanian mereka dibanding anak-anak kelas satu, dua dan tiga. Anak-anak perempuan bermain lompat tali di tengah-tengah koridor. Seseorang atau dua berjaga di ujung dan jika dia atau mereka berteriak 34 berhenti, berhenti!34 maka mereka yang bermain merapat ke dinding dan dua orang penjaga tali ikut merapat menyembunyikan mainannya lalu bersama-sama mengucapkan selamat pagi pada bapak atau ibu guru yang lewat. Anak laki-laki banyak bicara menantang siapa saja.

Mereka tidak menyukai anak berkacamata dan tak pernah mempercayai kata-kataku. Tentang logika dan dialektika. Tentang interaksi dan tekanan emosi. Mereka percaya aku takut ketinggian tapi tak percaya dengan kata "agorafobia". Mereka bangga berpura-pura tapi tak senang mendengar "hipokrit". Aku bilang: mari berdiskusi, mereka memalingkan muka dan berkata: {enakan ngobrol]. Beberapa hari terakhir aku memilih untuk banyak diam. Seseorang yang sudah dewasa mengatakan bahwa setiap kata-kata yang kupilih membuat anak-anak sekolah dasar, apalagi inpres, sakit kepala.

Pelajaran sejarah dimulai. Ketika Pak Ari "Babi"-julukan dari seluruh murid yang diajarnya karena hidungnya yang seperti moncong dan sikapnya yang tak baik-menceritakan ulang sejarah PKI yang baru diputar di TVRI kemarin malam, aku ingin berteriak dan menuntut "arkeologi saja, Pak!" atau "mengapa bukan pelajaran anatomi, yang lebih nyata ketimbang cerita yang kaukarang itu!" Tapi aku harus diam setelah Selasa lalu, dalam pokok bahasan 'pahlawan revolusi' dan Pak Ari Babi meminta anak-anak menyebutkan nama-nama pahlawan idola, aku menjawab, "Hitler, Pak." Aku ingin menjelaskan bahwa tanggal lahirku sama dengan Hitler ketika Pak Ari Babi menyuruhku diam dengan kapur dan tatapan anehnya. Anak-anak lain tidak mengerti.

Pulang sekolah Pak Ari Babi memanggilku ke ruang guru. Bukan untuk membicarakan Hitler meski ia tampak ingin tahu.
"Bapak harap kamu tidak mengotori lingkungan sekolah dengan berjualan di dalam kelas."
"Jangan membantah! Atau"

Aku mengangguk tanda setuju dan minta izin keluar. Aku mengambil termos es yang masih tertinggal di kelas dan pergi ke kantin mengambil termos es yang lain. Selalu kosong pada waktu pulang sekolah. Aku menenteng keduanya dan berjalan menuju rumah. Rongga kepalaku menyempit dan pedih. Fertigo yang sedih.

Raden Ngabei yang sedang menangis itu ibu. Bapak berdiri di dekat jendela dan merokok dengan kaku. Ia baru dipecat dari satuannya. Sudah lama aku bercita-cita jadi tentara seperti bapak. Tapi ikut Gerakan Pramuka pun aku gagal. Ketika Pak Ari Babi, sebagai pembina, bertanya kepadaku:
"Undang-undang dasar itu bisa diubah, tidak?"      

Aku menjawab: bisa. Kukira anak-anak lain menjawab sama. Tapi tidak. Aku gugur. Aku ingin menjelaskan bahwa aku bisa saja mencorat-coret UUD dan mengganti isinya di rumah. Tetapi kalau pertanyaannya boleh atau tidak, barulah tidak boleh. Tetapi Pak Ari Babi tak pernah menanyakan alasanku. Dalam hati aku masih ingin jadi tentara. Tapi malam itu kupikir cita-citaku sungguh buruk.

Kakak-kakak perempuanku tak berani menenangkan ibu. Ibu menjadi kurus seketika dan membuatku ikut menangis tapi ibu cepat-cepat menggenggam mukaku dan berkata dengan tegas, "Biar ibu saja yang menangis. Bapak belum mati. Anak laki-laki pantang menangis".
Dan sejak malam itu aku tak pernah lagi menangis.

Bapak mulai sering pulang malam. Kerja, katanya. Kami sekeluarga beraktivitas seperti biasa sambil menunggu bapak. Sore hari kadang-kadang aku main ke rumah simbah dan mendengarkannya berkali-kali mengatakan, {kowe ki ula]. Saban ia menanyakan apa aku sudah makan, aku mengangguk. Selepas magrib aku berharap bisa selalu menemani ibu. Melewati senja yang terbentang dari rumah simbah menuju rumah. Bayang-bayang merah kuning di langit. Sepanjang jalan aku masih mendengar gema suara azan dari kiri dan kanan.

Bapak belum juga pulang. Nasi bungkus yang dijanjikan semakin jauh. Ibu beranjak ke dapur memeriksa kaleng-kaleng yang biasa berisi makanan.
"Ada keripik, Gus," kata ibu. Aku menghampirinya dan menerima remah-remah yang ia sebut keripik. Tapi akhirnya bapak pulang.

Kalau ketemu waktu senggang, bapak mengajakku berdiskusi dan membaca buku-buku bagus. Che Guevara, Karl Marx, atau Hitler. Ada juga metafisika barat. Selesai membaca bapak menerangkan ini-itu secara ringkas. Bapak memang jarang bicara. Hitler seorang bangsa Arya, pemimpin besar bangsa besar, tegas dan cinta seni, tanggal lahirnya sama denganmu. Sisanya kuhapal dari buku-buku. Aku mulai menyukainya dan mencari-cari persamaan diriku dengan dirinya. Kadang-kadang bapak juga tampak seperti Hitler dengan kumisnya.

Kalau datang senang bapak mengajakku berburu dan mengajari bagaimana menggunakan senapan. Atau duduk-duduk bersama teman-temannya di dekat kandang babi. Kandang babi yang kelak kuhidupi dan menghidupiku. Bapak pernah bilang suatu kali, pada sebuah sore yang membuat babi-babi dalam kandang kehilangan tingkahnya: babi-babi itu saja senang hidup. Kalau kami tak bertemu, berarti bapak kerja.

Tapi aku merasakan segalanya makin tidak cukup. Kakak-kakak perempuanku harus menempuh sekolah yang lebih tinggi. Ibu berdagang gorengan. Aku diam-diam mengambil es di sebuah warung dan menjualnya di sekolah. Dengan itu aku tak pernah lagi minta uang jajan dan uang sekolah. Tetapi Pak Ari yang sama sekali tak seindah babi.

Setelah menghitung persentase keuntungan dan kemungkinan-kemungkinannya, aku tetap berkeras mengambil dua termos es. Jalan tetap berkabut seperti pagi yang sudah-sudah. Tanganku yang dingin mengeluarkan asap dingin. Aku mencoba tak memikirkan soal tekanan emosi dan psikologis yang ibu alami. Aku membayangkan ibu senang dan baik-baik sepertiku pagi itu. Menembus kabut dan menghirup kesejukan dengan tubuh yang ringan. Sebelum aku berangkat, ia masih tersenyum meski tangan yang kucium bau asin entah.
"Kok, dua?"

Aku memandang mbak penjaga kantin dan mengangguk kemudian. Ia tampak setengah mengerti. Aku berjalan menuju kelasku. Mendaki lagi banyak tangga yang membuat kepalaku berkelit dan perutku bergolak. Selalu bertepatan dengan bunyi lonceng. Hanya aku yang tak menikmati waktu senggang di sekolah. Tak ada permainan yang menghiburku. Tak ada percakapan yang menyenangkan.

Aku tak menyangka semuanya akan berubah secara tiba-tiba. Setelah pelajaran mengarang dan aku membacakan karyaku tentang kandang babi yang kulihat, setiap jam istirahat mereka berkumpul di bawah pohon lantai bawah dan menyeretku untuk membacakan cerita-cerita atau puisi atau apa saja. Anak laki-laki dan anak perempuan kompak untuk urusan yang satu ini. Mereka seperti babi-babi di kandang babi dan aku tukang angonnya. Kebanyakan selalu anak perempuan. Aku mulai merasa bahagia. Perasaan berguna dan berbeda. Perasaan lebih tinggi muncul. Sekalipun sedikit-sedikit aku merasa diriku diperalat namun perasaan bahagia, berguna, berbeda dan lebih tinggi selalu mendominasi. Mereka yang senang mendengarkanku bertambah dan bertambah pula jajanan yang tersuguh. Kepercayaan diriku mulai tumbuh. Kepercayaan diri yang berbeda. Yang dilengkapi kerendahan hati. Bukan rasa angkuh yang menutupi ketidakpercayaan diri. Meski rasa angkuh dan amarah yang abstrak tetap saja menjadi pembentuk "Hitler kecil".

Liburan kali itu pemberian alam. Banjir di mana-mana membuat semua orang sepakat untuk meliburkan segala aktivitas. Tidak terlalu besar tapi cukup merendam tempat tidur. Bapak memanggulku tengah malam itu. Ibu menggiring tiga kakak perempuanku, tersendat-sendat melawan air. Semua orang menuju rumah-rumah yang lebih aman. Segalanya basah dan membasahi kami, bahkan ketika kami tiba di depan sebuah rumah tempat para tetangga berlindung. Bapak berdiri di depan pintu sejenak, meyakinkan diri sendiri bahwa seluruh keluarganya telah berkumpul.

"Maaf ya, {udah] penuh."
Bapak tak berkata apa pun juga. Ibu terus saja mengekor di belakangnya. Kami melewati jalan yang sama. Rintik-rintik kudengar ibu bertanya, "Ke mana, Pak?" Dan suara angin yang kencang membalas dengan kelebat kata 'pulang'. Bayanganku tentang Hitler menjadi kacau malam itu. Aku ingin mengajak bapak duduk-duduk di kandang babi.
Sambil memanggulku, bapak menata meja-meja yang tiba-tiba jadi begitu berat hingga menjulang dan aman dari air. Kakak-kakak perempuanku mulai kembung dan gatal-gatal. Akhirnya, di atas meja ukuran 1 x 2 meter itu, kami berbagi tidur dan mimpi. Kami sekeluarga. Tanpa agorafobia.
Tak ada yang berubah sejak malam banjir itu. Hanya buku-buku kesayangan yang hilang. Suara piring dibanting, batuk-batuk dan orang menangis tetap terdengar. Aku kembali bersekolah dan menjalani hariku dengan inferiority complex-ku yang dulu.

Ketika suatu hari hasil ujianku memungkinkan diriku memasuki sebuah fakultas terbaik di universitas terbaik di negeriku, bapak meninggal dan aku tak mungkin meninggalkan rumah. Aku masuk kuliah di universitas terbaik yang ada di kotaku.

Setiap berangkat kuliah, aku berjalan dan selalu melewati kandang babi tempat bapak sering memperlihatkan kepadaku banyak hal. Kandang babi itu sudah banyak berubah seperti masa kecilku yang tergantikan. Babi-babi di sana bukan lagi babi-babi yang kulihat sewaktu kecil. Barangkali sudah berselang banyak generasi. Babi lebih cepat beregenerasi ketimbang diriku. Mereka lebih cepat besar dan kawin, lebih cepat beranak dan lebih cepat mati.

Pada pertengahan masa kuliahku, diam-diam aku menyisihkan sebagian waktuku untuk menjadi perawat babi. Aku berusaha mengenali mereka sampai bagian yang paling detil. Aku ingin mereka tak merasa risih lagi ketika aku menyentuh kelamin dan memisahkan mereka dari perkelahian dalam keluarga.

Lama kelamaan ibu bercuriga dan aku tak pernah berani berbohong kepadanya. Ketika aku menikahi seorang perempuan yang juga senang merawat babi, ibu merasa semakin khawatir. Tapi aku meyakinkannya bahwa kami dan babi-babi itu akan baik-baik saja dan mulai membeli babi-babi di kandang itu dengan warisan milik istriku. Namun, kekhawatiran ibu mendapat peluangnya. Pada sebuah musim hujan, di waktu diriku dan istriku yang sedang hamil mudah kedinginan dan sakit, babi-babi itu memberontak dan nyaris membunuhku ketika kuberikan mereka makan secara bergantian. Mereka tampak iri dan tak sabar menunggu giliran. Rasa marah yang abstrak yang bertahun-tahun kuendapkan dalam-dalam, kulepaskan tanpa alasan yang lebih rasional ketimbang pikiran bahwa aku berhadapan dengan babi-babi yang mengamuk. Aku masih tersungkur kedinginan ketika mereka menjebol pintu kandang dan meninggalkanku sendirian.

Demikianlah, aku kehilangan pekerjaan dan semua peliharaanku menjelang istriku mengejan melahirkan anak pertamaku. Tapi aku tidak berputus asa. Tanpa sepengetahuan istri dan anakku yang baru lahir, aku menggelandang mencari babi-babi yang dapat kupinjam dan kupelihara sampai mereka beranak-pinak di kandangku. Aku memberi makan kepada mereka secara adil kecuali seekor yang lain yang kelihatan lebih sehat dan cepat bunting.
Sejauh ini, aku selalu menjaga mereka lebih dari sekedar menjaga babi-babi pinjaman. Aku mengasihi mereka seperti mereka adalah kepunyaanku sendiri. Aku sering bersedih karena mereka cuma babi yang tak bisa membuatku tergerak untuk membagi luka-lukaku sepanjang hidup. Aku benar-benar bangga terhadap hidup dan semangat hidup mereka meski jauh di lubuk hatiku, aku selalu berdoa supaya anakku, istriku dan seluruh keluargaku tak pernah menjadi babi seperti mereka.

Tetapi hari ini, setelah berjam-jam kupeluk dia dan kuceritakan kepadanya masa laluku hanya karena dirinya mengendus kakiku, seekor babi itu jatuh sakit dan aku tak mampu menenangkannya kembali. Aku menjualnya kepada seorang dokter hewan yang budiman dan berharap dirinya akan menjadi manusia di tempat yang lebih banyak manusianya ketimbang babinya. Tetapi sesungguhnya aku cemas dirinya hanya akan dimakan dan mati dan tak pernah menjadi manusia selamanya, sementara dirinyalah satu-satunya yang bisa bunting dalam waktu paling singkat dan satu-satunya babi kecil yang berani mengendus kakiku, sejauh yang kuketahui mengenai seekor babi.


7 Februari 2015

Aku Mencintai Sepasang Kaki


Bagaimana aku mewujudkan perasaan ini padamu ? Di taman sekolah, di salah satu sudut bangku yang ada, di dekat pohon rindang menghadap ke sebuah kolam buatan kecil yang jernih, ditaburi teratai mekar, pertama kali aku melihatmu di sana.

Melia, kudengar beberapa sapaan menegurmu, hingga aku mempercayakan mengenali namamu. Apa yang membuat jiwaku menyalakan getaran-getaran ini, seperti untaian wewangian yang datang perlahan menjalin nuansa tertentu, dalam terasa dan bertahan lama. Hingga detak ini tak terhitung lagi, terungkap untuk apa dan bagaimana hingga menjadi sesuatu yang pasti, rasa. Jiwaku dilanda kasmaran padamu.

Melia, bagaimana caranya aku menerbangkan sayapku yang hanya sebelah. Mengenalmu pun begitu jauh, meski elok ayumu ada di pelupuk mataku, selalu. Rajutan-rajutan itu semakin hari kian saja menjadi, tersusun rapi untuk sesuatu yang pasti, dirimu.

Melia, apa yang kau lihat padaku yang tertunduk di salah satu bangku yang sepi dan rimbun dalam kerindangan yang mampu menyembunyikan ekor mataku yang berenang mereguk kedalamanmu ? Mungkin tak pernah kau sadari. 

Sepasang kakimu selalu melangkah di depan bangku ini. menyisakan beberapa tapakan yang mampu membuat jiwaku terkubur di dasarnya, lapuk. Sepasang kaki itu, aku jatuh cinta padamu karenanya. 

Jika ia tak pernah berlalu dari hadapanku, aku mungkin tak pernah mengenali siapa pemiliknya. Sepertinya Tuhan menghadirkan langkah-langkah itu seperti awan yang berlalu untuk menyapaku tentang hujan. Memperkenalkan dirinya pada serat-serat yang memancar dari tiap kehidupan. Tapi Melia, kenapa ia bisa bertahan begitu lama jika tidak ada sebab musababnya.

Terkadang aku ingin menanyakan sesuatu, bagaimana ia bisa melahirkan getaran-getaran yang begitu sempurna. Sungguh, jika aku mampu berteriak merobohkan gunung dan mengeringkan laut, aku ingin mengatakan aku mencintaimu sedalam sentuhan jiwa yang kurasakan dan kau kuras hingga kerontang.

Setitik embun pencerahan cinta di matamu akan sanggup menerbangkan aku ke alam surgawi, membius langit hingga terbungkam, mendobrak kesunyian rimba raya dan lautan. Meski wujudmu hanya setitik, kau begitu berharga dalam tarikan nafas ini, Melia. Entah kenapa aku begitu bangga mampu meraih detak yang dihadirkan alam oleh penampakanmu. Aku merasakan puncak cahaya oleh sentuhan terdalam yang hadir melalui wajahmu.

Matahari senja ini begitu lelah. Sekuntum melati yang ada digenggamanku mulai layu dan kehilangan wewanginya. Kembang yang telah dipetik tidak mampu bertahan lama. Rasanya lebih indah jika ia tetap berselimut bersama tubuh-tubuhnya yang lain, menyatu tanpa terpisah. Aku mungkin akan tetap menikmatinya di tangkai hingga ia rontok dengan sendirinya. Tak ada kumbang yang mau menyentuhnya dalam keadaan demikian.

Melia, benarkah apa yang kuungkapkan ? Taburan matahari mereda menyisakan hawa dingin yang mulai turun. Sudah ada sekian waktu menghilang, sepasang kaki itu tak pernah lagi hadir di keindahan taman sekolah yang kian hari menjadi ramai tapi terasa sepi.

Dorongan hatiku mengusik hingga sudutnya yang tersembunyi. Kemana gerangan kau pergi, Melia ? Apakah cahaya cintaku yang tidak pernah terungkap mengusikmu ? sungguh telah kubebaskan perasaan ini untuk memenjarakanmu dengan ungkapan-ungkapan yang romantis dan puitis yang mampu menjebakmu dalam rongga kebisuan yang terdalam.

Aku menatap sudut bangku di mana Melia biasa terduduk dengan tawanya yang tersungging bersama seorang pria yang begitu sempurna berada di dekatnya. Melia, alangkah bahagia mampu melihatmu dalam rasa yang selalu didamba oleh tiap-tiap jiwa yang kesepian, sebuah sentuhan cinta kasih yang mampu membuatnya tertawa dan menangis. 

Perasaan yang mampu menyempurnakan kehidupannya dengan kecemburuan, makian, marah hingga cercaan.

Melia, sungguh aku kesepian karena kehilanganmu. Sepasang kaki indah yang biasa hadir di mataku mengukir keindahan tersendiri di satu rongga jiwaku, menghilang, tanpa pernah kukenali, tanpa pernah kuingat lagi, tanpa pernah kuungkapkan perasaan-perasaan ini.

Melia, adakah perasaan itu murni ? Kepedihan yang lama akan kepergianmu membuat taman ini terasa hambar. kicauan merpati terasa sumbang terbang menjejaki tubuhku hingga terasa pedih dan lukanya. Kehilangan cintamu, kehilangan dirimu seolah membuat hilang diriku. 

Menenggelamkanku di sudut kehidupan. Kepedihan, air mata, tawa, sirna bersamamu. Aku tetap mencintaimu hingga aku mati, cinta itu akan tetap hadir bersama leburnya jasadku, ia akan mampu bersemai lagi. Di antara padi, rumput, kembang-kembang, pohon, aku damai dalam cinta.

Kuharap masih mampu tumbuh lagi suatu hari di lain kehidupanku. Setiap hari, ditemani langit pelangi aku selalu hadir di taman ini. Suara anak-anak riuh dengan permainannya serasa berkata,
“Wahai bumi yang indah, aku telah mampu merengkuh kalian dengan cinta ayah ibuku. Lihatlah begitu bahagia mereka tertawa bersamaku.

Bukankah aku penguasa cinta yang hadir dari sebuah kesepian panjang !” Dan aku akan tersenyum. Suara bocah-bocah itu hanya akan hadir di sini. Terlalu berat aku sanggup untuk membuatnya hadir dari diriku. Menjelmakan diri menjadi jiwa lain yang akan terlalu sulit untuk kuselami.

Melia, satu-satunya yang aku sanggup mengerti hanya dirimu. Dengan segenap hatiku yang tersentuh kedalamannya oleh desahan nafasmu, aku memanggilmu, aku datang di sini, menatapi angsa berayun di air yang perak oleh matahari hingga menjadi keemas-emasan. Kulihat hanya jejak-jejakmu.

Melia, adakah semua pengetahuan yang aku punya mampu memberikan jawaban atas semua rahasia yang ingin aku pertanyakan ? Di antara ketaatan yang membuatku percaya dengan cahaya Tuhan adakah yang mampu membuatku lebih teguh tanpa sebuah cinta.

Kalaupun semuanya yang terukir ini hanya sebuah masa yang harus lepas, ia tak pernah lepas seluruhnya. Ia tetap ada di sini, Melia. Tersembunyi dengan indah dan hanya akan hadir bila embun menitik dan bayou mengalunkan tembang kerinduan.

dyiah IM