Apabila
pengakuan akan perbedaan peranan pria dari peranan wanita
dalam
lingkup hubungan khusus mereka berdua sebagai suami-istri
dibenarkan
dan diterima karena adanya beberapa perbedaan
hak-hak
khusus yang ada pada masing-masing mereka, lalu apakah yang
membenarkan
perbedaan antara mereka berdua dalam bidang hak-hak umum,
di mana
bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan,
hal yang
mengesankan bahwa wanita sama dengan setengah pria?
Masalah ini
tidak terlalu jauh dari bidang khusus, yaitu bahwa
perbedaan
bagian perempuan dari bagian laki-laki dalam warisan tidak
bertitik
tolak dari adanya perbedaan antara mereka berdua dalam
nilai
kemanusiaan. Karena semua tanggung jawab umum yang dibebankan
atas pria
juga dibebankan atas wanita, kecuali sebagian kekhususan.
Wanita
memikul tanggung jawab itu sendiri dan tugasnya dalam urusan
tanggung
jawab tersebut sebagai manusia yang sempurna, persis
sebagaimana
pria mengemban tanggung jawab yang sama sebagai manusia
yang
sempuma. Namun garis keseimbangan antara pengambilan dan
pemberian
itulah yang menggerakkan dan mengatur hak-hak materi
kepada dua
belah pihak.
Karena Allah
SWT memberi wanita setengah bagian pria, ia tidak
mewajibkan
wanita untuk memikul beban-beban materi, namun Dia
mengharuskan
kepada pria pada saat yang sama untuk memenuhi
beberapa
kewajiban finansial, di antaranya mahar,
pemberian
nafkah kepada istri dan anak-anak, dan sebagainya berupa
hal-hal yang
menjadi tuntutan kehidupan berumah tangga.
Wanita
-dengan adanya pria- tidak bertanggung jawab atas pemberian
nafkah
anak-anaknya. Prialah yang bertanggung jawab dalam hal itu.
Adalah benar
bahwa Islam mengambil dari wanita setengah bagian pria
dalam
warisan, namun ia memberinya mahar dan nafkah, dan tidak
membebankan
wanita tanggung jawab apa pun dalam bidang ini,
dan memberi
pria dua kali lipat bagian wanita,
namun
membebaninya beberapa lipat dari tanggung jawab.
Berdasarkan
itu, mana di antara mereka berdua yang beruntung secara
realita?
Tentu wanita. ia dapat menyimpan hartanya, sedangkan pria
harus
menginfakkannya kepada istri dan anak- anak.
Sesungguhnya
masalah perbedaan hak mereka berdua dalam warisan tidak
bertitik
tolak dari adanya kekurangan dalam kemanusiaan wanita
daripada
pria, namun merupakan masalah keseimbangan antara hak dan
kewajiban.
Sebagai contoh, ketika saya mempelajari hak-hak saya, maka
saya harus
mempelajari kewajiban- kewajiban saya, dan bagaimana hak
dan kewajiban
menjadi berimbang dalam bidang ini?
Inilah pokok
masalahnya.
Keseimbangan
antara hak dan kewajiban tidak berguna dengan adanya
perubahan
lingkungan sosial dan masuknya wanita secara terpaksa ke
lapangan
pekerjaan serta keikutsertaannya secara efektif dalam
percaturan
ekonomi, baik di rumah suaminya atau pun di rumah
keluarganya.
Apakah
dengan semua itu hukum warisan tetap tidak dapat diotak-atik
meskipun ada
ketidakseimbangan?
Kepergian
wanita untuk bekerja di samping pria, bukanlah hal yang baru.
Pada masa
dahulu wanita juga bekerja, dalam perkebunan dan penjahitan,
dan prinsip
bekerja sudah ada sejak dahulu kala sebagaimana ada pada
masa
sekarang.
Tetapi
volume pekerjaan wanita tidak sampai merusak keseimbangan antara
hak dan
kewajibannya. Seandainya kita ingin mempelajari jumlah wanita
yang
bekerja, maka kita tidak menemukan pada masyarakat kita angka
pekerja
wanita yang melebihi 50 persen dari keseluruhan kaum wanita.
Kemudian
pertama-tama, kita harus mengkaji problem warisan dalam
sorotan
sistem sosial yang kita hidup di dalamnya dan kita ingin
meneguhkannya.
Wanita dalam masyarakat Islam merupakan bagian dari
suatu
keluarga.
Ketika kami
katakan bahwa harus terdapat suasana keibuan dan suasana
kekeluargaan,
maka itu mengharuskan wanita untuk sering menghentikan
pekerjaan,
atau pada masa tertentu saja demi kemaslahatan suasana
keibuan dan
membangun suasana kekeluargaan.
Islam tidak
menginginkan wanita untuk mengalami keadaan-keadaan darurat, dan ia (Islam)
tidak
menentang
pekerjaannya, namun Allah menginginkan agar wanita
melaksanakan
peranannya dalam kehidupan secara alami. Oleh karena itu,
laki-laki
dibebani dengan pelbagai tanggung jawab wanita, dan ia
meringankan
dari pundak wanita pelbagai tanggung jawab yang sulit lagi
berat.
Boleh jadi
dalam hal itu terdapat sisi negatif, tetapi Islam
memperhatikan
keseluruhan kemaslahatan pria dan wanita secara sama.
Dalam
beberapa keadaan, wanita dapat menyertai suaminya dalam pemberian
nafkah.
Hal itu
bukan suatu kewajiban, karena ia tidak akan mampu mengemban
tanggung
jawab kehidupan rumah tangga, di samping ia memikul tanggung
jawab
khususnya sebagai ibu. Dari sisi lain, masalah keikutsertaan
dalam
pemberian nafkah rumah tangga tidak ada kaitannya dengan masalah
warisan.
Anak
laki-laki dan anak perempuan memperoleh warisan dari kedua orang
tuanya, dan
perbedaan bagian warisan antara mereka berdua tidak
dikarenakan
keikutsertaan atau ketidakikutsertaan masing-masing mereka
dalam
mengeluarkan nafkah untuk rumah tangga.
Ringkasnya,
pengelompokan ini bertalian dengan ciri khas pembagian
antara hak
dan kewajiban dalam hubungan suami-istri selama hubungan
tersebut
dikendalikan dengan sistem ini. Masalah warisan berhubungan
dengan
sistem, bukan dengan gerakan realistis semata.