Lingkungan pergaulan dapat membentuk kepribadian dan kelakuan remaja dengan sangat cepat. Hal
itu ditambah lagi dengan adanya perkembangan teknologi pengiriman informasi
yang makin pesat, seperti internet, televisi, atau handphone.
Fase
usia remaja sering dianggap sebagai fase yang sangat tidak stabil dalam tahap
perkembangan manusia. G.S. Hall menyebutnya sebagai strum und drang
"masa topan badai'' sementara James E. Gardner menyebutnya sebagai masa turbulence
(masa penuh gejolak). Penilaian ini tentu berangkat dari realitas psikologis
dan sosial remaja.
Ketika memasuki usia
remaja (puber), setiap anak mengalami perubahan yang sangat signifikan pada
fisiknya, terutama yang terkait dengan organ-organ seksualnya.
Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan kecanggungan pada diri remaja karena
ia harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tadi. Penyesuaian ini
tidak selalu bisa mereka lewati dengan baik, lebih-lebih bila tidak ada
bimbingan dan dukungan dari orang tua.
Bersamaan dengan terjadinya perubahan fisik menuju kedewasaan, perubahan
yang bersifat psikologis juga dialami oleh remaja. Pada diri
mereka mulai muncul perasaan akan identitas diri. Jika pada waktu kanak-kanak mereka tidak pernah berpikir tentang jati diri mereka sendiri, maka pada masa remaja pertanyaan-pertanyaan seperti “siapa diri saya?” dan “apa tujuan hidup saya?” menjadi persoalan yang sangat penting. Ini sebetulnya pertanyaan yang wajar bagi setiap orang yang memasuki usia dewasa, karena pada masa ini mereka sudah harus mulai mandiri, termasuk dalam hal identitas atau jati diri. Persoalannya menjadi serius ketika pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan baik dan terus berlarut-larut menggelayuti pikiran mereka.
mereka mulai muncul perasaan akan identitas diri. Jika pada waktu kanak-kanak mereka tidak pernah berpikir tentang jati diri mereka sendiri, maka pada masa remaja pertanyaan-pertanyaan seperti “siapa diri saya?” dan “apa tujuan hidup saya?” menjadi persoalan yang sangat penting. Ini sebetulnya pertanyaan yang wajar bagi setiap orang yang memasuki usia dewasa, karena pada masa ini mereka sudah harus mulai mandiri, termasuk dalam hal identitas atau jati diri. Persoalannya menjadi serius ketika pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan baik dan terus berlarut-larut menggelayuti pikiran mereka.
Berkenaan
dengan persoalan jati diri ini, Jane Kroger mengatakan bahwa “Remaja agaknya
merupakan suatu saat … ketika seseorang dihadapkan dengan persoalan definisi
diri.” Sementara Kathleen White dan Joseph Speisman dalam buku mereka, Remaja,
menjelaskan bahwa remaja cenderung, “bergelut dengan isu mengenai siapa dirinya
dan ke mana tujuannya.” Begitu seriusnya mereka dengan persoalan ini sehingga
“barangkali hanyalah pada masa remaja saja individu dapat menjadi ahli filsafat
moral yang tersendiri.”
Sayangnya, hanya segelintir remaja yang mungkin benar-benar lulus sebagai
”ahli filsafat moral”, sementara sebagian besar lainnya justru semakin bingung
dan tak peduli dengan apa pun yang ada di sekitarnya. Banyak yang gagal dalam
menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang penting dan mendasar tadi.
Kegagalan dalam definisi diri membuat remaja mengalami ’kebingungan peran’ (role
confusion) saat mencari model peran yang akan diikuti.
Model peran orang tua yang sebelumnya mereka idealkan semasa kecil kini
mulai ingin mereka jauhi, terutama jika orang tua bermasalah. Remaja mulai
melirik model-model peran dan identitas yang ada di luar keluarganya. Namun,
mereka seringkali mengalami kebingungan karena ada begitu banyak pilihan peran
dan nilai-nilai yang saling bertentangan satu sama lain, sementara mereka tidak
memperoleh bimbingan yang mantap bagaimana seharusnya menentukan pilihan yang
terbaik bagi diri mereka sendiri. Semua itu membawa remaja kepada kondisi yang
sangat labil, rentan, dan mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Pada
gilirannya, tidak sedikit remaja yang akhirnya terjerumus dalam berbagai
persoalan serius.
Situasi ini menjadi semakin buruk, karena kaum kapitalis, khususnya para
pengusaha bisnis hiburan, berusaha mengambil keuntungan dari kondisi remaja
yang labil. Pencarian jati diri remaja dilihat oleh mereka sebagai ”permintaan”
(demand) dan peluang bisnis. Mereka pun kemudian memberikan ”penawaran”
(supply) berupa artis dan selebritis yang menampilkan identitas semu (pseudo-identity).
Remaja tak sekedar mengapresiasi para selebritis karena film atau lagu mereka
yang menarik, tapi juga karena para selebritis itu menampilkan model-model
identitas yang bisa mereka tiru dan ikuti. Hanya saja, peniruan yang mereka
lakukan ini tidak menyelesaikan problem dan gejolak pada diri mereka, malah
semakin melipatgandakannya.
Semua ini berputar dalam
suatu siklus. Kaum kapitalis menciptakan industri hiburan yang menghadirkan
artis dan selebritis. Para selebritis menampilkan identitas semu yang
diapresiasi oleh anak-anak remaja sebagai upaya pemenuhan atas pencarian jati
diri mereka. Kaum remaja, atau orang tua mereka, mengeluarkan uang untuk
mengkonsumsi hiburan dan mengapresiasi artis-artis, dan uang itu masuk ke
kantong kapitalis. Siklus itu terus berputar. Dan sebagai dampaknya, kaum
kapitalis mengalami akumulasi modal, sementara remaja mengalami akumulasi
krisis