SEEKOR babi mengendusku
lagi. Langit-langit yang menyangga dunia beranjak menuju gelap. Anakku datang
menyusul, menunggu di luar kandang bersama istriku.
"Babi itu punya bapak
semua, ya?"
Aku melepaskan endusan babi
itu dan menyuruhnya bergabung dengan teman-temannya. Hari ini aku terpaksa
melepas seekor babi yang gemuk dan paling sakit di antara kawanannya. Aku tak
ingin ada seekor lagi yang sakit dan bermanja denganku di hadapan putriku yang
masih kecil dan membuatnya iri terhadap seekor babi. Aku ingin babi-babi itu
beranak-pinak di kandangku. Dan untuk itu aku harus mampu menahan diri.
"Bukan punya bapak,
kata istriku."
"Cuma pinjem ya,
Pak?"
"Iya, cuma
{pinjem]."
***
Setelah mendaki banyak
tangga yang terbuat dari tanah dan tiba di gedung sekolah, kepalaku berkelit
dan perutku bergolak. Di hadapanku anak-anak kelas empat bergembira dengan
besar badan dan keberanian mereka dibanding anak-anak kelas satu, dua dan tiga.
Anak-anak perempuan bermain lompat tali di tengah-tengah koridor. Seseorang atau
dua berjaga di ujung dan jika dia atau mereka berteriak 34 berhenti, berhenti!34
maka mereka yang bermain merapat ke dinding dan dua orang penjaga tali ikut
merapat menyembunyikan mainannya lalu bersama-sama mengucapkan selamat pagi
pada bapak atau ibu guru yang lewat. Anak laki-laki banyak bicara menantang
siapa saja.
Mereka tidak menyukai anak
berkacamata dan tak pernah mempercayai kata-kataku. Tentang logika dan
dialektika. Tentang interaksi dan tekanan emosi. Mereka percaya aku takut
ketinggian tapi tak percaya dengan kata "agorafobia". Mereka bangga
berpura-pura tapi tak senang mendengar "hipokrit". Aku bilang: mari
berdiskusi, mereka memalingkan muka dan berkata: {enakan ngobrol]. Beberapa
hari terakhir aku memilih untuk banyak diam. Seseorang yang sudah dewasa
mengatakan bahwa setiap kata-kata yang kupilih membuat anak-anak sekolah dasar,
apalagi inpres, sakit kepala.
Pelajaran sejarah dimulai.
Ketika Pak Ari "Babi"-julukan dari seluruh murid yang diajarnya
karena hidungnya yang seperti moncong dan sikapnya yang tak baik-menceritakan
ulang sejarah PKI yang baru diputar di TVRI kemarin malam, aku ingin berteriak
dan menuntut "arkeologi saja, Pak!" atau "mengapa bukan
pelajaran anatomi, yang lebih nyata ketimbang cerita yang kaukarang itu!"
Tapi aku harus diam setelah Selasa lalu, dalam pokok bahasan 'pahlawan
revolusi' dan Pak Ari Babi meminta anak-anak menyebutkan nama-nama pahlawan
idola, aku menjawab, "Hitler, Pak." Aku ingin menjelaskan bahwa
tanggal lahirku sama dengan Hitler ketika Pak Ari Babi menyuruhku diam dengan
kapur dan tatapan anehnya. Anak-anak lain tidak mengerti.
Pulang sekolah Pak Ari Babi
memanggilku ke ruang guru. Bukan untuk membicarakan Hitler meski ia tampak
ingin tahu.
"Bapak harap kamu tidak
mengotori lingkungan sekolah dengan berjualan di dalam kelas."
"Jangan membantah!
Atau"
Aku mengangguk tanda setuju
dan minta izin keluar. Aku mengambil termos es yang masih tertinggal di kelas
dan pergi ke kantin mengambil termos es yang lain. Selalu kosong pada waktu
pulang sekolah. Aku menenteng keduanya dan berjalan menuju rumah. Rongga
kepalaku menyempit dan pedih. Fertigo yang sedih.
Raden Ngabei yang sedang
menangis itu ibu. Bapak berdiri di dekat jendela dan merokok dengan kaku. Ia
baru dipecat dari satuannya. Sudah lama aku bercita-cita jadi tentara seperti
bapak. Tapi ikut Gerakan Pramuka pun aku gagal. Ketika Pak Ari Babi, sebagai
pembina, bertanya kepadaku:
"Undang-undang dasar
itu bisa diubah, tidak?"
Aku menjawab: bisa. Kukira
anak-anak lain menjawab sama. Tapi tidak. Aku gugur. Aku ingin menjelaskan
bahwa aku bisa saja mencorat-coret UUD dan mengganti isinya di rumah. Tetapi
kalau pertanyaannya boleh atau tidak, barulah tidak boleh. Tetapi Pak Ari Babi
tak pernah menanyakan alasanku. Dalam hati aku masih ingin jadi tentara. Tapi malam
itu kupikir cita-citaku sungguh buruk.
Kakak-kakak perempuanku tak
berani menenangkan ibu. Ibu menjadi kurus seketika dan membuatku ikut menangis
tapi ibu cepat-cepat menggenggam mukaku dan berkata dengan tegas, "Biar
ibu saja yang menangis. Bapak belum mati. Anak laki-laki pantang
menangis".
Dan sejak malam itu aku tak
pernah lagi menangis.
Bapak mulai sering pulang
malam. Kerja, katanya. Kami sekeluarga beraktivitas seperti biasa sambil
menunggu bapak. Sore hari kadang-kadang aku main ke rumah simbah dan
mendengarkannya berkali-kali mengatakan, {kowe ki ula]. Saban ia menanyakan apa
aku sudah makan, aku mengangguk. Selepas magrib aku berharap bisa selalu
menemani ibu. Melewati senja yang terbentang dari rumah simbah menuju rumah.
Bayang-bayang merah kuning di langit. Sepanjang jalan aku masih mendengar gema
suara azan dari kiri dan kanan.
Bapak belum juga pulang.
Nasi bungkus yang dijanjikan semakin jauh. Ibu beranjak ke dapur memeriksa
kaleng-kaleng yang biasa berisi makanan.
"Ada keripik,
Gus," kata ibu. Aku menghampirinya dan menerima remah-remah yang ia sebut
keripik. Tapi akhirnya bapak pulang.
Kalau ketemu waktu senggang,
bapak mengajakku berdiskusi dan membaca buku-buku bagus. Che Guevara, Karl
Marx, atau Hitler. Ada juga metafisika barat. Selesai membaca bapak menerangkan
ini-itu secara ringkas. Bapak memang jarang bicara. Hitler seorang bangsa Arya,
pemimpin besar bangsa besar, tegas dan cinta seni, tanggal lahirnya sama
denganmu. Sisanya kuhapal dari buku-buku. Aku mulai menyukainya dan mencari-cari
persamaan diriku dengan dirinya. Kadang-kadang bapak juga tampak seperti Hitler
dengan kumisnya.
Kalau datang senang bapak
mengajakku berburu dan mengajari bagaimana menggunakan senapan. Atau
duduk-duduk bersama teman-temannya di dekat kandang babi. Kandang babi yang
kelak kuhidupi dan menghidupiku. Bapak pernah bilang suatu kali, pada sebuah
sore yang membuat babi-babi dalam kandang kehilangan tingkahnya: babi-babi itu
saja senang hidup. Kalau kami tak bertemu, berarti bapak kerja.
Tapi aku merasakan segalanya
makin tidak cukup. Kakak-kakak perempuanku harus menempuh sekolah yang lebih
tinggi. Ibu berdagang gorengan. Aku diam-diam mengambil es di sebuah warung dan
menjualnya di sekolah. Dengan itu aku tak pernah lagi minta uang jajan dan uang
sekolah. Tetapi Pak Ari yang sama sekali tak seindah babi.
Setelah menghitung
persentase keuntungan dan kemungkinan-kemungkinannya, aku tetap berkeras
mengambil dua termos es. Jalan tetap berkabut seperti pagi yang sudah-sudah.
Tanganku yang dingin mengeluarkan asap dingin. Aku mencoba tak memikirkan soal
tekanan emosi dan psikologis yang ibu alami. Aku membayangkan ibu senang dan
baik-baik sepertiku pagi itu. Menembus kabut dan menghirup kesejukan dengan
tubuh yang ringan. Sebelum aku berangkat, ia masih tersenyum meski tangan yang
kucium bau asin entah.
"Kok, dua?"
Aku memandang mbak penjaga
kantin dan mengangguk kemudian. Ia tampak setengah mengerti. Aku berjalan
menuju kelasku. Mendaki lagi banyak tangga yang membuat kepalaku berkelit dan
perutku bergolak. Selalu bertepatan dengan bunyi lonceng. Hanya aku yang tak
menikmati waktu senggang di sekolah. Tak ada permainan yang menghiburku. Tak
ada percakapan yang menyenangkan.
Aku tak menyangka semuanya
akan berubah secara tiba-tiba. Setelah pelajaran mengarang dan aku membacakan
karyaku tentang kandang babi yang kulihat, setiap jam istirahat mereka
berkumpul di bawah pohon lantai bawah dan menyeretku untuk membacakan
cerita-cerita atau puisi atau apa saja. Anak laki-laki dan anak perempuan
kompak untuk urusan yang satu ini. Mereka seperti babi-babi di kandang babi dan
aku tukang angonnya. Kebanyakan selalu anak perempuan. Aku mulai merasa
bahagia. Perasaan berguna dan berbeda. Perasaan lebih tinggi muncul. Sekalipun
sedikit-sedikit aku merasa diriku diperalat namun perasaan bahagia, berguna,
berbeda dan lebih tinggi selalu mendominasi. Mereka yang senang mendengarkanku
bertambah dan bertambah pula jajanan yang tersuguh. Kepercayaan diriku mulai
tumbuh. Kepercayaan diri yang berbeda. Yang dilengkapi kerendahan hati. Bukan
rasa angkuh yang menutupi ketidakpercayaan diri. Meski rasa angkuh dan amarah
yang abstrak tetap saja menjadi pembentuk "Hitler kecil".
Liburan kali itu pemberian
alam. Banjir di mana-mana membuat semua orang sepakat untuk meliburkan segala
aktivitas. Tidak terlalu besar tapi cukup merendam tempat tidur. Bapak
memanggulku tengah malam itu. Ibu menggiring tiga kakak perempuanku,
tersendat-sendat melawan air. Semua orang menuju rumah-rumah yang lebih aman.
Segalanya basah dan membasahi kami, bahkan ketika kami tiba di depan sebuah
rumah tempat para tetangga berlindung. Bapak berdiri di depan pintu sejenak,
meyakinkan diri sendiri bahwa seluruh keluarganya telah berkumpul.
"Maaf ya, {udah]
penuh."
Bapak tak berkata apa pun
juga. Ibu terus saja mengekor di belakangnya. Kami melewati jalan yang sama.
Rintik-rintik kudengar ibu bertanya, "Ke mana, Pak?" Dan suara angin
yang kencang membalas dengan kelebat kata 'pulang'. Bayanganku tentang Hitler
menjadi kacau malam itu. Aku ingin mengajak bapak duduk-duduk di kandang babi.
Sambil memanggulku, bapak
menata meja-meja yang tiba-tiba jadi begitu berat hingga menjulang dan aman
dari air. Kakak-kakak perempuanku mulai kembung dan gatal-gatal. Akhirnya, di
atas meja ukuran 1 x 2 meter itu, kami berbagi tidur dan mimpi. Kami
sekeluarga. Tanpa agorafobia.
Tak ada yang berubah sejak
malam banjir itu. Hanya buku-buku kesayangan yang hilang. Suara piring
dibanting, batuk-batuk dan orang menangis tetap terdengar. Aku kembali
bersekolah dan menjalani hariku dengan inferiority complex-ku yang dulu.
Ketika suatu hari hasil
ujianku memungkinkan diriku memasuki sebuah fakultas terbaik di universitas
terbaik di negeriku, bapak meninggal dan aku tak mungkin meninggalkan rumah.
Aku masuk kuliah di universitas terbaik yang ada di kotaku.
Setiap berangkat kuliah, aku
berjalan dan selalu melewati kandang babi tempat bapak sering memperlihatkan
kepadaku banyak hal. Kandang babi itu sudah banyak berubah seperti masa kecilku
yang tergantikan. Babi-babi di sana bukan lagi babi-babi yang kulihat sewaktu
kecil. Barangkali sudah berselang banyak generasi. Babi lebih cepat
beregenerasi ketimbang diriku. Mereka lebih cepat besar dan kawin, lebih cepat
beranak dan lebih cepat mati.
Pada pertengahan masa
kuliahku, diam-diam aku menyisihkan sebagian waktuku untuk menjadi perawat
babi. Aku berusaha mengenali mereka sampai bagian yang paling detil. Aku ingin
mereka tak merasa risih lagi ketika aku menyentuh kelamin dan memisahkan mereka
dari perkelahian dalam keluarga.
Lama kelamaan ibu bercuriga
dan aku tak pernah berani berbohong kepadanya. Ketika aku menikahi seorang
perempuan yang juga senang merawat babi, ibu merasa semakin khawatir. Tapi aku
meyakinkannya bahwa kami dan babi-babi itu akan baik-baik saja dan mulai
membeli babi-babi di kandang itu dengan warisan milik istriku. Namun,
kekhawatiran ibu mendapat peluangnya. Pada sebuah musim hujan, di waktu diriku
dan istriku yang sedang hamil mudah kedinginan dan sakit, babi-babi itu
memberontak dan nyaris membunuhku ketika kuberikan mereka makan secara bergantian.
Mereka tampak iri dan tak sabar menunggu giliran. Rasa marah yang abstrak yang
bertahun-tahun kuendapkan dalam-dalam, kulepaskan tanpa alasan yang lebih
rasional ketimbang pikiran bahwa aku berhadapan dengan babi-babi yang mengamuk.
Aku masih tersungkur kedinginan ketika mereka menjebol pintu kandang dan
meninggalkanku sendirian.
Demikianlah, aku kehilangan
pekerjaan dan semua peliharaanku menjelang istriku mengejan melahirkan anak
pertamaku. Tapi aku tidak berputus asa. Tanpa sepengetahuan istri dan anakku
yang baru lahir, aku menggelandang mencari babi-babi yang dapat kupinjam dan
kupelihara sampai mereka beranak-pinak di kandangku. Aku memberi makan kepada
mereka secara adil kecuali seekor yang lain yang kelihatan lebih sehat dan
cepat bunting.
Sejauh ini, aku selalu
menjaga mereka lebih dari sekedar menjaga babi-babi pinjaman. Aku mengasihi
mereka seperti mereka adalah kepunyaanku sendiri. Aku sering bersedih karena
mereka cuma babi yang tak bisa membuatku tergerak untuk membagi luka-lukaku sepanjang
hidup. Aku benar-benar bangga terhadap hidup dan semangat hidup mereka meski
jauh di lubuk hatiku, aku selalu berdoa supaya anakku, istriku dan seluruh
keluargaku tak pernah menjadi babi seperti mereka.
Tetapi hari ini, setelah
berjam-jam kupeluk dia dan kuceritakan kepadanya masa laluku hanya karena
dirinya mengendus kakiku, seekor babi itu jatuh sakit dan aku tak mampu
menenangkannya kembali. Aku menjualnya kepada seorang dokter hewan yang budiman
dan berharap dirinya akan menjadi manusia di tempat yang lebih banyak
manusianya ketimbang babinya. Tetapi sesungguhnya aku cemas dirinya hanya akan
dimakan dan mati dan tak pernah menjadi manusia selamanya, sementara dirinyalah
satu-satunya yang bisa bunting dalam waktu paling singkat dan satu-satunya babi
kecil yang berani mengendus kakiku, sejauh yang kuketahui mengenai seekor babi.