Resah itu sudah tak berspasi,
lalu mengeja kata-kata menjadi sebuah
makna,
menggerus kata dalam dada dan hawa,
menjadikan sebuah nada yang menggugah
aliterasi,
resah tak harus bermandikan cucuran
kepiluan,
tapi tikam dada,
dan kumpulkan dalam kata-kata yang menjadi
do’a,
do’a dalam lamunan,
atau do’a untuk penghapusan,
resah tak harus mematikan aliran
kesadaran,
tapi resah harus terus menyalakan sebuah
carut marut untuk sebuah penghayatan.
Resah harus bermakna halus,
Puisi Resah tentunya bukan hanya perkara para makhluk galau yang Cuma bisa ngurusin cari pacar dan bagaimana agar bisa terlihat keren. Dari Resah tersebut sudah sangat jelas dalam bait pertama bahwa resah tak berspasi , bagian dari diri, karena sudah tidak ada jarak, setelah resah menjadi diri, kemudian dia memaknai dirinya, selanjutnya menjadi indah karena menggugah aliterasi.
Puisi Resah tentunya bukan hanya perkara para makhluk galau yang Cuma bisa ngurusin cari pacar dan bagaimana agar bisa terlihat keren. Dari Resah tersebut sudah sangat jelas dalam bait pertama bahwa resah tak berspasi , bagian dari diri, karena sudah tidak ada jarak, setelah resah menjadi diri, kemudian dia memaknai dirinya, selanjutnya menjadi indah karena menggugah aliterasi.
Bait selanjutnya resah adalah
tikam dada yang menjadi doa, baik dalam lamunan atau dalam penghapusan. Di sini
resah bermetamorfosis menjadi segumpal doa yang seksi. Selanjutnya pada bait
ketiga resah adalah kesadaran untuk menghayati hidup, “resah harus terus
menyalakan sebuah carut marut untuk sebuah penghayatan”. Dan pada bait terakhir
resah dimaknai dengan sesuatu yang halus.
Tentunya galau berbeda
dengan resah dalam puisi ini. Jika
puisi ini berbicara resah, ini bukan perkara resah tidak punya pacar, atau
belum bayar hutang. Resah adalah sebuah upaya bagaiamana manusia bisa
menghadapi kehidupan tanpa harus terjebak dalam ruang-waktu yang tidak memberi
makna. Di sini pembaca diarahkan untuk penyadaran bahwa keresahan harus bermakna , baik
dalam ekspresi syair yang indah, doa yang khusuk, atau kehalusan hidup.
Dalam kebudayaan modern
manusia selalu diarahkan pada sebuah dunia di mana ia merasa bermakna jika
menjadi sesuatu—bagian kecil—dalam kehidupan. Manusia diarahkan pada medan ruang-waktu
yang menyeret ia untuk terlupa akan ke-ada-annya. Manusia larut dalam keseharian
yang banal, menjadi makhluk kerumun, tidak ubahnya seperti sekawanan mayat
hidup. Modernitas sudah menakar segala hal secara rasional, sehingga semuanya
dapat diprediksi dan diantisipasi secara persis. Apakah manusia bisa
diantisipasi menjadi sebuah objek? Kondisi modernitas sudah mengasingkan
manusia dari kesehariannya.
Di tengah kebanalan itu,
manusia suatu waktu pasti pernah menanyakan siapa dirinya. Ada secercah resah.
Resah semacam ini adalah bentuk kecemasan, angst dalam istilah
Heidegger. Pada momen ini, menurut Heidegger, kecemasan yang menyembul ke luar
dari keseharian itulah yang menjadi alat untuk membuka selubung yang memalsukan
sang aku yang dikoyak. Kecemasan menelanjangi manusia sebagai ada yang
terlempar, untuk menyingkapi dasar-dasar kenyataan dan kehidupan sehari-hari
kita.
. Keresahan adalah jalan
untuk menemukan makna akan kehidupan. Manusia harus bisa keluar dari
keseharian yang banal, dan satu-satunya cara dari itu adalah dengan mencandrai
kehidupan.
Dari mana aku, ke mana aku,
mengapa aku ada? Pertanyaan itu membuat cemas setiap manusia. Agama telah
menjawabnya, namun apakan itu sudah cukup? Sains telah memberikan jawaban akan
itu, namun apakah itu menenangkan? Lagi-lagi ini perkara keresahan manusia
secara eksistensial. Ia butuh satu jawaban yang bisa menyalurkan keresahannya,
dan prosesi menjawab itu adalah dengan menghayati kehidupan dengan segala
suasana—baik sedih, kecewa, senang, bahagia—gerak hatinya.
sumber