Sekaranglah saatnya...lansung
praktek aja pasti seru..minimal pasti ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil... mungkin
Dan sayapun
mulai melirik sekeliling, mencari siapa kira2 yg seharus nya saya sukai, (aneh y..saya baru sadar sekarang klo perasaan itu tdk bisa dihitung dg kalkulator, dia bukan ilmu pasti, suka adalah ilmu aneh yg ga punya kurikulum, dia hy bisa dipahami oleh orang2 yg sdg tenggelam didalamnya).
Tapi yg jelas beberapa minggu kemudian saya membuat keputusan dan mengiriminya surat kaleng…, apakah saya diterima? tentu saja tidak, saya langsung ditolak bahkan sempat menjadi bahan gunjingan dalam kelas. (kenapa
saya gagal dan apakah saya berhasil menemukan jawaban thd pertanyaan2
saya…kapan2 aja saya tulis)
Singkat
cerita dua kegagalan eksperimen ini membuat saya mulai ragu dg buku2 psikologi,
motivasi, manajemen dan buku2 lain yg saya baca, apakah semua yg mereka tulis
itu benar atau hanya sekian persen saja yang bisa dipegang ataukah saya gagal
karena perbedaan keadaan sosio kultural tempat saya hidup dg tempat penulis
mengambil sampel2 percobaannya, mereka hidup di Barat sedangkan saya tinggal di
Timur (Asia), ya bedalah adat dan kebiasaan kami. Teori2 mereka tumpul, tak
bisa diterapkan di daerah saya..ya itulah kesimpulan sementara saya.
Saya berani masuk
MLM dan juga menembak si dia adlah karena aliran semangat dan gairah yg muncul
dari ide2 mereka, sipenulis kelas dunia itu. Saya gagal, saya rasa harapan yg diberikan sipenulis2 itu seperti
uap, tidak bisa sepenuhnya diterima mentah2. buktinya saya gagal.
Namun saya
tidak sepenuhnya menyerah karena saya masih mempunyai target selanjutnya yang
perlu saya coba, tidak ada salahnya mencoba kan? Tidak ada manfaatnya menangisi
susu yg tumpah ke lantai, bersihkan saja dan lakukan tugas2 lain yg sudah
menunggu.
Target saya
selanjutnya adalah bisa kuliyah keluar negri, aneh...waktu itu saya seperti sahabat yg membakar hapis kapalnya, di depan adalah musuh dan di belakang adalah laut lepas, kalau maju ada 2 kemungkinan bisa menang dan memperoleh apa yg kita inginkan atau kalah namun dikenang sebagai pahlawan, kalau mundur maka mati konyol karena kapal sudah dibakar.
waktu itu saya hy punya satu pikiran saya harus ke luar negri, saya tidak akan kuliyah dimana2 selain di luar negri...harus. kalau tahun ini tidak bisa maka tahun depan harus bisa kalau ga tahun depannya lagi.
setelah berharap setengah mati akhirnya pun saya lulus, saya selamat gara2 8 point, waktu itu syarat kelulusan non depag adalah 60 dan untuk jalur depag (beasiswa) harus memiliki rata2 80.
nilai rata2 saya waktu itu adalah 60.8 . yach saya rasa saya lulus gara2 doa dari orang2 tercinta padahal kemampuan tidak terlalu baik. tapi yang jelas saya lulus sedangkan ilmu bisa di usahakan, yang penting lulus dulu.
Saya tidak
punya kelebihan materi, anda tahu lah apa yang saya lakukan sehari2. Saya tidak
mungkin dalam tiga bulan bisa mengumpulkan uang puluhan juta untuk biaya kuliyah
di luar negri. Namun demikian saya mencoba untuk tetap percaya bahwa itu pasti bisa
“pasti ada cara.” Ya klo nantinya gagal lagi ya minimal saya tidak menyesal
tidak ke luar negri, saya sudah mencoba dan saya gagal. Itulah takdir saya. selesai
masalah, titik.
Ya lebih kurang seperti
itulah pesan2 yg sering disampaikan bapak2 motivasi dalam kuliah2
mereka.
Perjuangan
keluar negri lebih terkendala kepada mencari dana dan “catatan lusuh” saya
telah mengabadikan kisah pengemis saya dlm cari
dana. Semua ada saya simpan dengan rapi, mulai dari angka-angka yang masuk dan keluar, tanggal, org yg
pertama kali mengasih semangat, org yg pertama kali mengasih dana, saya dapat
300.000 rupiah, ini utk modal awal katanya. Semoga berhasil.
Saya juga
mencatat pesan-pesan mereka, harapan2 mereka.
Waktu itu
saya meng-kopi sekitar 50 proposal dana, sebagian saya sebar di mesjid2 pas
waktu jum’atan, sebagian di sidang hari raya, kedai2 anderdil motor, kedai
pupuk, kantor badan amil zakat (BAZ) , bank bpr, kantor wali nagari, kantor
camat, kantor bupati, kantor diknas, tempat praktek dokter kandungan, mendatangi orang2 kaya dengan wajah memelas
tapi hati memaksa seolah mengatakan “bahwa kami adalah fi sabilillah", padahal
kenal juga ga’ dg mereka.
Sungguh aneh
karena waktu itu tak ada rasa segan sikitpun untuk minta2 sumbangan. Kadang
disuruh menjalankan katidiang (keranjang sumbangan), kadang sebelum dikasih sumbangan diminta untuk
menjadi khatib jum’at dulu di sana, kadang juga ditolak dengan berbagai alasan
logis dan tak logis, yang saya rasakan waktu itu hanya manis manis asam kayak
lagi makan jeruk sambil kening berkerut. Eisspp..ha gimana gitu.
bersambung...